The Godsfall Chronicles - Chapter 1

Chapter satu TGC, terlambat beberapa hari xD

Chapter Selanjutnya
                                                                                  

Book 1 - Tanah Buangan
Chapter 1 - Si Pengais Muda


Matahari terbenam, memancarkan warna merah darah yang menyinari Tanah Buangan. Jam untuk mengais telah tiba.
Cloudhawk terbangun bersamaan dengan perihnya rasa sakit di perutnya. Sensasi yang familiar itu telah menemaninya selama masa hidupnya, mengisi berbagai kenangannya selama ini. Para pengais menyebutnya sebagai ‘lapar’, dan menyebutnya sebagai kutukan yang diberikan Pencipta kepada seluruh makhluknya.
Jika kali ini dia gagal lagi untuk menemukan makanan, ia tak akan dapat bertahan hidup sampai pagi tiba.
Mengenai apa yang akan ia lakukan esok hari? Itu merupakan pertanyaan yang Cloudhawk tidak pernah pikirkan. Esok hari... bagi para pengais, merupakan sebuah kata ‘mewah’ yang mereka tidak mampu khawatirkan.
Cloudhawk dengan susah payah merangkak keluar dari liang persembunyiannya. Ketika kakinya berdiri diatas pasir reruntuhan yang panas itu lagi, ia merasa seakan dirinya terkena sihir yang membuat kepalanya pusing. Reruntuhan kuno di sekitarnya dipenuhi oleh pagar-pagar hancur, puing-puing tembok, dan juga sisa mayat yang telah jatuh dan mati dari ‘dunia lain’. Bangunan yang dulu pernah berdiri megah disini kini hanya tinggal gundukan puing tak berguna, terkubur dan terlupakan, baik oleh hamparan pasir maupun oleh hamparan waktu.
Anak muda kurus itu berperawakan sangat kecil, akibat terpaan badai pasir yang menguasai tanah ini. Angin berhembus... menyeka rambut hitamnya yang kusut, menutupi wajahnya yang masih muda. Tubuhnya yang kering kerontang itu hanya ditutupi oleh beberapa potong pakaian kotor, kulitnya yang kasar dan kapalan itu dipenuhi oleh luka-luka, baik luka baru maupun luka yang sudah lama. Namun, mata anak itu, tetap selalu siap dan waspada. Hanya itulah yang membedakannya dari yang lain, pengais-pengais biasa.
Cloudhawk masih berusia empat belas atau lima belas tahun.
Kehidupan para pengais sangatlah sederhana. Menghabiskan sekitar dua puluh jam per harinya bersembunyi di dalam sebuah  lubang, atau sebuah liang, menghindari teriknya panas dan dingin yang menggigit. Barulah ketika menjelang waktu fajar atau menjelang petang, para pengais dapat keluar dari lubangnya dan mencari makanan diantara reruntuhan. Hari demi hari, tahun demi tahun, rutinitas itu tetap tak berubah. Kehidupan semacam itu mungkin terlihat sangat membosankan, namun para pengais menganggap kebosanan itu sebagai sebuah berkah yang luar biasa... karena perubahan sedikit saja pada rutinitas membosankan itu, hampir selalu menandakan datangnya kematian.
Terlintas di pikiran Cloudhawk tentang si Orang Kuno.
Si Orang Kuno adalah seorang pengais yang berbeda, seorang pengais yang telah bertahan melawan perubahan zaman. Tidak hanya ia tahu begaiamana cara membaca bahasa Jaman Kuno, ia juga tahu berbagai macam hal yang tidak seharusnya seorang pengais tahu. Ia suka sekali bercerita, dan mengoleksi benda-benda tak berguna, terutama peralatan-peralatan, lukisan, dan buku-buku dari Jaman Kuno. Dan satu-satunya orang yang ia percaya untuk saling berbagi, adalah Cloudhawk, maka dari itu mereka berdua menjadi kawan atau teman satu sama lain.
Pagi ini, matahari terbit sama seperti biasanya... namun kali ini, si Orang Kuno tidak merangkak keluar dari persembunyiannya.
Namun tetap saja, si Orang Kuno adalah seorang pria yang beruntung. Setidaknya ia punya Cloudhawk untuk mengubur dirinya.
Cloudhawk tidak ingin memikirkan tentang apa yang akan terjadi kepadanya jika ia sendiri yang tumbang. Ia tidak punya banyak daging di tulangnya, namun tentu para pengais yang lapar tidak pilih-pilih dengan makanan mereka. Para pedagang daging yang gila itu mungkin akan mencincang tubuhnya menjadi delapan bagian, mengasapi kulitnya untuk mengawetkannya, dan menggantungnya di gantungan-gantungan besi yang kini sudah berkarat milik mereka. Mereka akan menyimpan sebagian dari dagingnya untuk diri mereka sendiri, dan menukarkan sisanya dengan air yang sedikit terkontaminasi.
Ini adalah Tanah Buangan. Demi keberlangsungan hidup, banyak yang akan bersedia makan apapun, melakukan apapun.
Terkadang, Cloudhawk merasa cemburu dan iri pada yang lain. Namun, si Orang Kuno pernah bilang kepadanya, apabila manusia benar-benar membuang sedikit sisa moralitas yang kini masih tersisa, maka ras manusia akan benar-benar punah.
...
Ia begitu lapar sampai membuatnya hampir tak bisa berjalan.
Cloudhawk menyeret badan ringkihnya melewati puing-puing, layaknya sehelai jerami yang terombang-angin oleh angin. Ia bahkan merasa seperti dirinya bisa terjatuh ambruk kapan saja. Para pengais yang lain telah menyisiri puing-puing itu dengan bersih, untuk mencari makanan tentu bukanlah hal yang mudah.
Apakah ia akan gagal menemukan makanan lagi kali ini?
Apakah ini juga akan menjadi kali terakhirnya memandang matahari terbenam?
Cloudhawk pun terduduk lemah. Matahari kini telah tenggelam melewati horizon, mewarnai puing-puing dengan nyala merah darahnya. Ia melihat seekor elang terbang, menembus langit, melewati awan-awan, dan ia pun merasa iri. Ketika ia memilih nama Cloudhawk dulu, itu karena ia ingin untuk menjadi layaknya elang-elang yang terbang menembus awan, bebas, dan tak terkekang.... tapi pada akhirnya, itu hanyalah sebuah mimpi yang khayal, kan?

Ini semua belum berakhir.
Ia tidak dapat menyerah, ia tidak akan menyerah!
Tepat pada saat itu juga, ia mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru dari kejauhan. Cloudhawk pun langsung beranjak berdiri layaknya hewan yang dikejutkan predatornya, sambil menghunuskan secuil logam yang telah ia asah sejak lama, ia menatap ke kejauhan dengan penuh waspada. Ini adalah era gila yang kacau balau. Setiap harinya, pasti ada pengais-pengais kelaparan yang mencoba untuk membunuh sesamanya, dan korban mereka umumnya adalah anak-anak kurus seperti Cloudhawk.
Dan benar, suara langkah kaki itu semakin mendekat dan mendekat hingga akhirnya, tiga pengais dengan pakaian compang-camping terlihat di jarak pandangnya, berlari ke arahnya dengan sangat cepat.
Wajah Cloudhawk memucat seketika sembari ia mundur beberapa langkah. Saat ini ia benar-benar lemah, bahkan angin yang agak kuat sedikit saja pun dapat menjatuhkannya. Tiga pengais berlari menyerangnya dalam waktu yang bersamaan? Tidak akan mungkin ia bisa keluar dari sini hidup-hidup!
Tunggu sebentar!
Ada sesuatu yang salah!
Walaupun ketiganya memiliki wajah ganas yang mengerikan, mereka tidak memiliki pandangan pembunuh seperti pandangan ketika predator hendak memangsa mangsanya. Melainkan, mereka malah terlihat seperti mangsa yang sedang ketakutan, dipenuhi oleh kengerian dan keputusasaan.
Mereka bukanlah sedang menyerang. Mereka sedang berlari menyelamatkan diri mereka!
Baru saja Cloudhawk mendapatkan firasat buruk tentang ini semua, sekawanan makhluk hitam tiba-tiba muncul tepat dibelakang ketiga pengais itu, menyerbu langsung kearah mereka. Setidaknya ada sekitar sepuluh banyaknya makhluk itu. Mereka kurang lebih seukuran anjing liar, dan mata mereka mengerikan, merah menyala.
Cloudhawk berdiri terpaku, terdiam sesaat, pikirannya tak bisa mencerna semua ini dengan segera. Namun ada satu pikiran yang mampu muncul di antara pemikiran yang lain, sebuah insting yang datang dari lubuk jiwanya yang terdalam...
LARI!
Ancaman di ambang kematian merupakan sesuatu yang dapat memunculkan potensi penuh siapapun.
Entah bagaimana, tubuhnya yang tadi telah kehabisan tenaga, dapat sekali lagi memeras segelintir energi. Cloudhawk tidak membuang waktu sedikit pun untuk mencoba mencari tau makhluk apa sebenarnya yang ada dibelakangnya. Yang ia tau – hewan-hewan mutan itu, hewan mutan yang buas itu, benar-benar predator yang mengerikan.
Di daerah reruntuhan ini, bahkan di seluruh dearah Tanah Buangan, para pengais terletak di paling dasar rantai makanan. Bagaimana mungkin mereka dapat melawan balik hewan-hewan mutan yang mengerikan itu?
Yang pertama tumbang adalah seorang wanita. Ia merupakan yang paling lambat diantara ketiganya.
“Selamatkan aku!”
“Selamatkan aku!!”
“SELAMATKAN AKU!!!”
Salah satu dari makhluk itu menusukkan taringnya ke leher si wanita, lalu mengoyaknya dengan keji. Darah memancar layaknya geyser, menyelimuti area dengan warna merah darahnya.
Selanjutnya monster kedua. Lalu ketiga. Makhluk-makhluk hitam itu saling berebut untuk mendapatkan si wanita, dan gumpalan-gumpalan daging terobek-robek dari bagian tubuh si wanita. Dalam sekejap mata, perutnya telah terkoyak dan ususnya, serta organ-oragan dalamnya sudah tercabik-cabik berceceran.
Sebuah pemandangan yang benar-benar keji, penuh darah, dan mengerikan.
Untuk sesaat, teriakan penuh penderitaan dan ketakutan dapat dengan jelas terdengar, merambat layaknya malaikat pencabut nyawa ke arah tiga orang sisanya. Beberapa dari hewan mutan itu terlalu lambat untuk ikut menikmati santapan si wanita, sehingga mereka langsung saja berlari memangsa ke para pengais sisanya. Hanya berselang tiga detik, seorang pengais malang lainnya tumbang.
“AHH!”
“TIDAKK!”
Suara tulang-tulang hancur dan kulit tersobek-sobek... Suara-suara itu membuat tubuh Cloudhawk menjadi dingin seketika.
Saat Cloudhawk yang ketakutan sedang berlari kabur dan sampai ke sebuah pojok, nampak kepadanya sebuah pemandangan yang membuatnya benar-benar putus asa. Reruntuhan telah menutupi jalan didepannya. Sebuah jalan buntu yang tidak dapat ia lewati!
Apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia lakukan?
Terikan penuh penyiksaan yang ketiga sayup-sayup terdengar.
Tiga hewan mutan diantara hewan-hewan lainnya tidak memerdulikan daging si pengais ketiga, dan langsung melompat melewati mayat si pengais, lalu bergerak layaknya kilat hitam ke arah seorang bocah yang tak punya harapan itu.
Bahaya! Bahaya! Bahaya! Cloudhawk dapat merasakan bahwa kematian telah mendekatinya. Jika ia ragu-ragu untuk sesaat saja, ia tidak tau apa yang akan terjadi padanya.
Berbalik arah berarti mati. Pilihannya satu-satunya adalah mencoba pilihan terakhirnya dengan segala yang ia punya.
Mengabaikan segalanya, Cloudhawk berlari lurus ke arah reruntuhan dan melompat masuk ke sebuah celah yang sangat sempit.
Celah yang tidak mungkin jika dimasuki orang dewasa, bahkan Cloudhawk sendiri saja hampir tidak muat di celah sempit itu... dan sesaat kemudian, ia mendengar suara salah satu hewan mutan itu yang masih terus mencoba untuk masuk mengejarnya.
Hewan mutan itu begitu dekat sampai-sampai Cloudhawk dapat mencium bau busuknya.
Cloudhawk terus saja merangkak naik melalui celah itu, namun malangnya ia telah sampai di bagian paling ujung. Tidak ada tempat lagi untuk merangkak naik, dan hewan buas dibelakangnya sudah terus-menerus menggeram bersiap untuk menerkamnya.
Segalanya sedang berada di ambang keputusasaan. Ini adalah momen yang kritis, momen dimana hidup dan mati sedang dipertaruhkan.
Walaupun ia sedang dipenuhi oleh rasa putus asa, Cloudhawk tidak sedikitpun ragu-ragu, ia memutar badannya sembari menggenggam sebilah potongan besi di tangannya. Makhluk hitam itu menerkam langsung ke arahnya, mata merah darahnya memancarkan kebrutalan di dalam kegelapan. Taringnya setajam pisau, dan taring itulah yang hendak mengoyak mangsa yang kini berada didepannya, lalu mencabik-cabiknya hingga hancur.
Cloudhawk pun berteriak, ia menikam membabi buta ke arah depannya...dan kebetulan saja potongan besinya tertancap tepat ke mata si makhluk itu.
Makhluk itu meraung kesakitan sambil menghempaskan badannya ke arah Cloudhwak. Cakar tajamnya menorehkan beberapa sayatan di tubuh Cloudhawk, namun Cloudhawk berhasil menekan kepala makhluk itu ke bawah. Celah dalam reruntuhan ini sungguh sempit, sehingga tidak memungkinkan bagi makhluk itu untuk meloloskan diri dari cengkraman Cloudhawk.
 “Matilah! Matilah!” Cloudhawk menjadi lebih brutal daripada hewan itu sendiri selagi ia menusuk-nusukkan besinya, lebih dari sepuluh kali ke kepala makhluk itu. Darah berbau busuk terpancar deras ke sekitarnya, menyelimuti wajahnya, tangannya, dan seluruh pakaiannya.
Dua hewan buas lainnya hanya berputar-putar mengitari celah itu, tidak dapat masuk ke dalam. Setelah mendengar ‘jeritan’ dari hewan buas lainnya, mereka langsung berbalik arah dan pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan Cloudhawk, ia sudah tidak dapat bergerak lagi. Sambil bernafas terengah-engah, otaknya yang sedang kekurangan oksigen itu pun merasakan pusing sesaat. Sekarang, ia sudah benar-benar tidak memiliki energi sedikit pun bahkan hanya untuk menggerakkan jari kelingkingnya.
Setelah dorongan energi yang terakhir tadi, tubuhnya sekali lagi merasakan rasa lelah dan lemah yang tak terkira. Ia baru saja, sejenak-mengesampingkan lelah tubuhnya, dan kini tubuhnya meminta balik sepuluh kali lipat energi dari apa yang telah ia peras sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, ia dapat melihat dengan jelas rupa makhluk yang terbaring di depannya.
Makhluk ini memiliki bulu yang berminyak dan mengilap, cakar yang panjang dan tajam, serta mata merah yang mengerikan. Ia terlihat seperti tikus mutan raksasa. Namun tetap saja semua itu tidaklah penting, yang penting adalah bahwa di tubuh makhluk itu ada lebih dari lima kilogram daging.
Ini adalah makanan!                                                      
Cloudhawk menjadi bersemangat lagi. Ia menggunakan potongan besinya untuk merobek kulit keras makhluk itu, dan menyayat beberapa potong daging tebal dan kemudian ia telan bulat-bulat. Memang daging itu terasa pahit, getir, dan mentah... namun bagi manusia yang hidup di Tanah Buangan, daging seperti itu adalah makanan paling nikmat yang pernah mereka rasakan.
Cloudhawk biasanya bertahan hidup dengan memakan semut, kumbang, dan rumput. Sudah lama-lama sekali sejak terakhir kali ia dapat makan daging. Selagi makanan itu mencari jalannya menuju perut Cloudhawk, perasaan hangat dengan cepat menyebar keseluruh tubuhnya. Rasa sakit yang ia rasakan seakan berkurang, digantikan oleh rasa puas yang begitu luar biasa yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.
Ia makan, makan, dan makan hingga perutnya yang sebelumnya kerontang menjadi mengembung kembali. Barulah saat itu ia berhenti, ekspresi kebahagiaan terpancar di wajahnya.
Hewan-hewan mutan diluar sudah sejak lama pergi. Cloudhawk menyeret mangsa yang baru saja ia bunuh sendiri untuk pulang menuju lubangnya. Dengan begini, Ia akan dapat bergelimang lima daging perharinya untuk beberapa hari kedepan.
Namun baru saja Cloudhawk menarik mayat itu keluar dari celah, sebuah suara yang terdengar sebuas suara hewan liar menyambutnya. “Letakkan daging itu!”
Empat sampai lima orang pengais dewasa sedang memblokade jalan Cloudhawk. Pemimpin mereka sekilas terlihat berperawakan kuat dan tegap, dengan wajah yang dipenuhi oleh garis-garis bekas luka mengerikan, semakin mendukung tampangnya yang menyeramkan.
Para pengais ini telah menyadari ‘keramaian’ di daerah sini sejak tadi, tapi mereka memutuskan untuk bersembunyi dan menunggu di daerah sekitar, berharap untuk mengais setidaknya tulang belulang dari mayat-mayat yang tersisa nantinya.
Daging-daging mewah dan tebal itu menjadikan mulut mereka penuh akan air liur.
Si pria berwajah penuh bekas luka mengggeram, “Letakkan. Dagingnya. CEPAT!”
Cloudhawk hanya menatap mereka tanpa berkata apapun, sebuah tatapan layaknya tatapan serigala yang buas, penuh akan bahaya. Kedua kubu saling memandang satu sama lain di sela-sela reruntuhan, bagaikan hewan buas yang sedang menimbang-nimbang musuhnya. Sebenernya, di era ini manusia dan hewan buas sudah hampir-hampir tidak ada bedanya sama sekali.
Meletakkannya?
Aku hampir saja membayarnya dengan nyawaku untuk mendapatkan daging ini. Kau mau aku meletakknya?
Cloudhawk didn’t waste any time on words. Like an enraged young beast, he threw himself straight forwards and landed a punch directly on the scarred man’s face.
Cloudhawk tidak membuang-buang waktu dengan kata-kata. Layaknya seekor hewan buas yang sedang mengamuk, ia melompat lurus ke depan dan melayangkan pukulan telak ke wajah si pria berwajah penuh luka itu.
Tidak perlu dipertanyakan siapa yang akan menang di pertarungan ini. Pada akhirnya, Cloudhawk hanya tidak lebih dari seorang anak kecil. Bagaimana mungkin ia bisa mengalahkan beberapa orang dewasa secara sekaligus? Skenario terbaiknya, ia akan dipukuli sampai babak belur, dan ia akan menyaksikan sepotong daging yang ia perjuangkan mati-matian diambil begitu saja oleh mereka.
……
Malam pun tiba.
Dibalut luka-luka di tubuhnya, anak muda itu menyelinap kembali ke lubangnya seperti anjing yang babak belur. Tapi ia tidak merasa dendam atau benci sedikitpun kepada para pengais yang telah mengambil makanannya. Sebagai anak yang telah tumbuh besar di ‘perkampungan’ pengais, ia telah terbiasa dengan peraturan Tanah Buangan.
DI Tanah Buangan, tidak ada yang namanya prinsip. Satu-satunya aturan atau hukum yang berlaku disini adalah hukum rimba.
Mereka yang kuat akan mendapatkan makanan, budak, dan wanita. Mereka yang lemah hanya akan disakiti, dirampok, dan diperbudak. Di dunia ini, di jaman ini, dan di tempat ini... moral tidak lagi dipersoalkan. Menjadi lemah itu saja sudah termasuk sebuah dosa.
Cahaya rembulan menyelinap masuk ke liang Cloudhawk, membawa ikut serta hawa dingin yang tak dapat disingkirkan hanya dengan selimut. Ia begitu kedinginan hingga ia meringkukkan badannya seperti bola, sayang malangnya, luka-luka di tubuhnya membuat Cloudhawk tak bisa tidur sama sekali.
Cloudhawk memutuskan untuk bangun dan terduduk. Ia mengambil sebuah kotak yang terbuat dari besi, mengangkatnya, dan menatapnya lekat-lekat seakan-akan kotak itu adalah harta karun yang paling berharga di dunia. Dengan perlahan dan sangat hati-hati, ia mengambil beberapa objek berwarna terang dari dalam kotak itu. 
Ia memandangi foto itu lekat-lekat, pandangannya terlihat seperti sedang melamun dan menerawang jauh. Foto-foto itu merupakan hasil kerja keras si Orang Kuno yang telah mengumpulkannya selama bertahun-tahun. Foto itu adalah bukti nyata bahwa Jaman Kuno pernah benar-benar ada, tapi perjalanan waktu menjadikannya mulai buram dan susah dikenali.
Setiap kali Cloudhawk melihat foto-foto itu, jantungnya selalu berdegup kencang.
Setiap kali Cloudhawk melihat foto-foto itu, rasa sakitnya, rasa laparnya, dan luka-luka yang ia alami akan selalu terasa lebih mendingan.
Setiap kali Cloudhawk melihat foto-foto itu, tidak peduli seberapa besar keputusasaan yang ia rasakan atau seberapa gelap dunia terlihat, ia akan tetap bisa melihat secercah harapan didepannya.
Jaman Kuno yang telah berlalu, jaman yang telah hilang! Dunia impian dan magis macam apa sebenarnya itu?
Dulu, orang-orang terlihat bersih dan tampan. Kota-kota begitu makmur dan berjaya. Tidak ada bahaya, tidak ada hewan mutan yang mengerikan, tidak ada manusia mutan yang brutal, dan tidak ada pengais yang berusaha bertahan hidup di Tanah Buangan.
Benarkah era itu telah benar-benar berakhir?
Atau mungkinkah era itu masih ada dan bertahan di belahan dunia lain yang tersembunyi?
Mata Cloudhawk yang hitam legam memancarkan semangat dan rasa tidak sabar. Ia benar-benar ingin menjelajahi perkemahan pengais dan menjelajahi Tanah Buangan!
Ibaratnya seperti sebuah segel yang telah lama mengekang erat jiwanya. Sebuah keinginan yang telah muncul sejak lama, sejak saat ia masih sangat muda. Waktu itu, si Orang Kuno pernah bertanya kepadanya: Kenapa? Perkemahan pengais adalah tempat yang berbahaya, reruntuhan itu tempat yang berbahaya, dan Tanah Buangan malah lebih berbahaya lagi. Cita-citamu adalah jalan yang pasti menuju kematian.
“Karena aku telah dilahirkan di dunia ini! Dan karean dunia ini memilihku untuk terlahir didalamnya, aku berhak untuk menyaksikan seperti apa dunia ini sebenarnya!”

 “Cepat atau lambat, aku akan pergi mencarinya. Aku akan menemukan ‘negeri khayalan’ itu, tempat layaknya surga. Jika aku dapat memandangnya sekelebat saja, jika aku dapat menciumkan bibirku ke tanah dibawahnya... meskipun aku harus mati saat itu juga, aku tak akan menyesali apapun!”
Si Orang Kuno hanya terdiam.
Sejak saat itu hingga seterusnya, ia selalu menjaga anak itu di sisinya, berbagi makanan dengannya, dan mengajarinya membaca. Anak itu telah bertahun-tahun berjuang di ambang kematian... tapi tidak hanya keinginannya untuk menjelajah menjadi hilang, malah kini keinginannya semakin bertambah besar.
Si Orang Kuno pernah mengatakan bahwa beberapa orang memang ditakdirkan untuk menjadi bebas, layaknya elang. Mereka boleh saja dilahirkan di kandang ayam, tapi cepat atau lambat mereka pasti akan mengepakkan sayapnya dan terbang menuju angkasa.
Apakah ia benar-benar akan mendapatkan kesempatan itu?
Ia bahkan tidak dapat pergi keluar dari reruntuhan ini, apalagi menjelajahi tanah buangan yang tak berujung, dan beribu-ribu kali lebih berbahaya.
Si Orang Kuno sering berbicara tentang takdir. Semua orang, katanya, memiliki takdirnya masing-masing. Tidak ada seorang pun yang akan lolos dari takdirnya, tidak peduli seberapa kuat ia mencoba.
Anak muda itu memang telah ‘kenyang’ oleh kebiadaban Tanah Buangan, tapi semangatnya masih tetap saja membara, matanya bersinar penuh oleh hasrat yang tak terbendung, tak dapat dideskripsikan. Ia dengan pelan-pelan meletakkan kembali kotak besi miliknya, menggunakannya sebagai bantal. Barulah setelahnya, tubuhnya yang telah lelah letih akhirnya tertidur pulas.






Chapter Selanjutnya
                                       Indeks                                                     

Comments