The Godsfall Chronicles - Chapter 1
Chapter satu TGC, terlambat beberapa hari xD
Chapter Selanjutnya
Book 1 - Tanah Buangan
Chapter 1 - Si Pengais Muda
Book 1 - Tanah Buangan
Chapter 1 - Si Pengais Muda
Matahari terbenam, memancarkan warna merah darah yang menyinari
Tanah Buangan. Jam untuk mengais telah tiba.
Cloudhawk terbangun bersamaan dengan perihnya rasa sakit di
perutnya. Sensasi yang familiar itu telah menemaninya selama masa hidupnya,
mengisi berbagai kenangannya selama ini. Para pengais menyebutnya sebagai
‘lapar’, dan menyebutnya sebagai kutukan yang diberikan Pencipta kepada seluruh
makhluknya.
Jika kali ini dia gagal lagi untuk menemukan makanan, ia tak akan
dapat bertahan hidup sampai pagi tiba.
Mengenai apa yang akan ia lakukan esok hari? Itu merupakan
pertanyaan yang Cloudhawk tidak pernah pikirkan. Esok hari... bagi para
pengais, merupakan sebuah kata ‘mewah’ yang mereka tidak mampu khawatirkan.
Cloudhawk dengan susah payah merangkak keluar dari liang
persembunyiannya. Ketika kakinya berdiri diatas pasir reruntuhan yang panas itu
lagi, ia merasa seakan dirinya terkena sihir yang membuat kepalanya pusing.
Reruntuhan kuno di sekitarnya dipenuhi oleh pagar-pagar hancur, puing-puing
tembok, dan juga sisa mayat yang telah jatuh dan mati dari ‘dunia lain’.
Bangunan yang dulu pernah berdiri megah disini kini hanya tinggal gundukan
puing tak berguna, terkubur dan terlupakan, baik oleh hamparan pasir maupun
oleh hamparan waktu.
Anak muda kurus itu berperawakan sangat kecil, akibat terpaan
badai pasir yang menguasai tanah ini. Angin berhembus... menyeka rambut
hitamnya yang kusut, menutupi wajahnya yang masih muda. Tubuhnya yang kering
kerontang itu hanya ditutupi oleh beberapa potong pakaian kotor, kulitnya yang
kasar dan kapalan itu dipenuhi oleh luka-luka, baik luka baru maupun luka yang
sudah lama. Namun, mata anak itu, tetap selalu siap dan waspada. Hanya itulah
yang membedakannya dari yang lain, pengais-pengais biasa.
Cloudhawk masih berusia empat belas atau lima belas tahun.
Kehidupan para pengais sangatlah sederhana. Menghabiskan sekitar
dua puluh jam per harinya bersembunyi di dalam sebuah lubang, atau sebuah liang, menghindari
teriknya panas dan dingin yang menggigit. Barulah ketika menjelang waktu fajar
atau menjelang petang, para pengais dapat keluar dari lubangnya dan mencari
makanan diantara reruntuhan. Hari demi hari, tahun demi tahun, rutinitas itu
tetap tak berubah. Kehidupan semacam itu mungkin terlihat sangat membosankan,
namun para pengais menganggap kebosanan itu sebagai sebuah berkah yang luar
biasa... karena perubahan sedikit saja pada rutinitas membosankan itu, hampir
selalu menandakan datangnya kematian.
Terlintas di pikiran Cloudhawk tentang si Orang Kuno.
Si Orang Kuno adalah seorang pengais yang berbeda, seorang pengais
yang telah bertahan melawan perubahan zaman. Tidak hanya ia tahu begaiamana
cara membaca bahasa Jaman Kuno, ia juga tahu berbagai macam hal yang tidak
seharusnya seorang pengais tahu. Ia suka sekali bercerita, dan mengoleksi
benda-benda tak berguna, terutama peralatan-peralatan, lukisan, dan buku-buku
dari Jaman Kuno. Dan satu-satunya orang yang ia percaya untuk saling berbagi,
adalah Cloudhawk, maka dari itu mereka berdua menjadi kawan atau teman satu
sama lain.
Pagi ini, matahari terbit sama seperti biasanya... namun kali ini,
si Orang Kuno tidak merangkak keluar dari persembunyiannya.
Namun tetap saja, si Orang Kuno adalah seorang pria yang
beruntung. Setidaknya ia punya Cloudhawk untuk mengubur dirinya.
Cloudhawk tidak ingin memikirkan tentang apa yang akan terjadi
kepadanya jika ia sendiri yang tumbang. Ia tidak punya banyak daging di
tulangnya, namun tentu para pengais yang lapar tidak pilih-pilih dengan makanan
mereka. Para pedagang daging yang gila itu mungkin akan mencincang tubuhnya
menjadi delapan bagian, mengasapi kulitnya untuk mengawetkannya, dan menggantungnya
di gantungan-gantungan besi yang kini sudah berkarat milik mereka. Mereka akan
menyimpan sebagian dari dagingnya untuk diri mereka sendiri, dan menukarkan
sisanya dengan air yang sedikit terkontaminasi.
Ini adalah Tanah Buangan. Demi keberlangsungan hidup, banyak yang
akan bersedia makan apapun, melakukan apapun.
Terkadang, Cloudhawk merasa cemburu dan iri pada yang lain. Namun,
si Orang Kuno pernah bilang kepadanya, apabila manusia benar-benar membuang
sedikit sisa moralitas yang kini masih tersisa, maka ras manusia akan
benar-benar punah.
...
Ia begitu lapar sampai membuatnya hampir tak bisa berjalan.
Cloudhawk menyeret badan ringkihnya melewati puing-puing, layaknya
sehelai jerami yang terombang-angin oleh angin. Ia bahkan merasa seperti
dirinya bisa terjatuh ambruk kapan saja. Para pengais yang lain telah menyisiri
puing-puing itu dengan bersih, untuk mencari makanan tentu bukanlah hal yang
mudah.
Apakah ia akan gagal menemukan makanan lagi kali ini?
Apakah ini juga akan menjadi kali terakhirnya memandang matahari
terbenam?
Cloudhawk pun terduduk lemah. Matahari kini telah tenggelam
melewati horizon, mewarnai puing-puing dengan nyala merah darahnya. Ia melihat
seekor elang terbang, menembus langit, melewati awan-awan, dan ia pun merasa
iri. Ketika ia memilih nama Cloudhawk dulu, itu karena ia ingin untuk menjadi
layaknya elang-elang yang terbang menembus awan, bebas, dan tak terkekang....
tapi pada akhirnya, itu hanyalah sebuah mimpi yang khayal, kan?
Ini semua belum berakhir.
Ia tidak dapat menyerah, ia tidak akan menyerah!
Tepat pada saat itu juga, ia mendengar suara langkah kaki yang
terburu-buru dari kejauhan. Cloudhawk pun langsung beranjak berdiri layaknya
hewan yang dikejutkan predatornya, sambil menghunuskan secuil logam yang telah
ia asah sejak lama, ia menatap ke kejauhan dengan penuh waspada. Ini adalah era
gila yang kacau balau. Setiap harinya, pasti ada pengais-pengais kelaparan yang
mencoba untuk membunuh sesamanya, dan korban mereka umumnya adalah anak-anak
kurus seperti Cloudhawk.
Dan benar, suara langkah kaki itu semakin mendekat dan mendekat
hingga akhirnya, tiga pengais dengan pakaian compang-camping terlihat di jarak
pandangnya, berlari ke arahnya dengan sangat cepat.
Wajah Cloudhawk memucat seketika sembari ia mundur beberapa
langkah. Saat ini ia benar-benar lemah, bahkan angin yang agak kuat sedikit
saja pun dapat menjatuhkannya. Tiga pengais berlari menyerangnya dalam waktu
yang bersamaan? Tidak akan mungkin ia bisa keluar dari sini hidup-hidup!
Tunggu sebentar!
Ada sesuatu yang salah!
Walaupun ketiganya memiliki wajah ganas yang mengerikan, mereka
tidak memiliki pandangan pembunuh seperti pandangan ketika predator hendak
memangsa mangsanya. Melainkan, mereka malah terlihat seperti mangsa yang sedang
ketakutan, dipenuhi oleh kengerian dan keputusasaan.
Mereka bukanlah sedang menyerang. Mereka sedang berlari
menyelamatkan diri mereka!
Baru saja Cloudhawk mendapatkan firasat buruk tentang ini semua,
sekawanan makhluk hitam tiba-tiba muncul tepat dibelakang ketiga pengais itu,
menyerbu langsung kearah mereka. Setidaknya ada sekitar sepuluh banyaknya
makhluk itu. Mereka kurang lebih seukuran anjing liar, dan mata mereka
mengerikan, merah menyala.
Cloudhawk berdiri terpaku, terdiam sesaat, pikirannya tak bisa
mencerna semua ini dengan segera. Namun ada satu pikiran yang mampu muncul di
antara pemikiran yang lain, sebuah insting yang datang dari lubuk jiwanya yang
terdalam...
LARI!
Ancaman di ambang kematian merupakan sesuatu yang dapat
memunculkan potensi penuh siapapun.
Entah bagaimana, tubuhnya yang tadi telah kehabisan tenaga, dapat
sekali lagi memeras segelintir energi. Cloudhawk tidak membuang waktu sedikit
pun untuk mencoba mencari tau makhluk apa sebenarnya yang ada dibelakangnya.
Yang ia tau – hewan-hewan mutan itu, hewan mutan yang buas itu, benar-benar
predator yang mengerikan.
Di daerah reruntuhan ini, bahkan di seluruh dearah Tanah Buangan,
para pengais terletak di paling dasar rantai makanan. Bagaimana mungkin mereka
dapat melawan balik hewan-hewan mutan yang mengerikan itu?
Yang pertama tumbang adalah seorang wanita. Ia merupakan yang
paling lambat diantara ketiganya.
“Selamatkan aku!”
“Selamatkan aku!!”
“SELAMATKAN AKU!!!”
Salah satu dari makhluk itu menusukkan taringnya ke leher si
wanita, lalu mengoyaknya dengan keji. Darah memancar layaknya geyser,
menyelimuti area dengan warna merah darahnya.
Selanjutnya monster kedua. Lalu ketiga. Makhluk-makhluk hitam itu
saling berebut untuk mendapatkan si wanita, dan gumpalan-gumpalan daging
terobek-robek dari bagian tubuh si wanita. Dalam sekejap mata, perutnya telah
terkoyak dan ususnya, serta organ-oragan dalamnya sudah tercabik-cabik
berceceran.
Sebuah pemandangan yang benar-benar keji, penuh darah, dan
mengerikan.
Untuk sesaat, teriakan penuh penderitaan dan ketakutan dapat
dengan jelas terdengar, merambat layaknya malaikat pencabut nyawa ke arah tiga
orang sisanya. Beberapa dari hewan mutan itu terlalu lambat untuk ikut
menikmati santapan si wanita, sehingga mereka langsung saja berlari memangsa ke
para pengais sisanya. Hanya berselang tiga detik, seorang pengais malang
lainnya tumbang.
“AHH!”
“TIDAKK!”
Suara tulang-tulang hancur dan kulit tersobek-sobek... Suara-suara
itu membuat tubuh Cloudhawk menjadi dingin seketika.
Saat Cloudhawk yang ketakutan sedang berlari kabur dan sampai ke
sebuah pojok, nampak kepadanya sebuah pemandangan yang membuatnya benar-benar
putus asa. Reruntuhan telah menutupi jalan didepannya. Sebuah jalan buntu yang
tidak dapat ia lewati!
Apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia lakukan?
Terikan penuh penyiksaan yang ketiga sayup-sayup terdengar.
Tiga hewan mutan diantara hewan-hewan lainnya tidak memerdulikan
daging si pengais ketiga, dan langsung melompat melewati mayat si pengais, lalu
bergerak layaknya kilat hitam ke arah seorang bocah yang tak punya harapan itu.
Bahaya! Bahaya! Bahaya! Cloudhawk dapat merasakan bahwa kematian
telah mendekatinya. Jika ia ragu-ragu untuk sesaat saja, ia tidak tau apa yang
akan terjadi padanya.
Berbalik arah berarti mati. Pilihannya satu-satunya adalah mencoba
pilihan terakhirnya dengan segala yang ia punya.
Mengabaikan segalanya, Cloudhawk berlari lurus ke arah reruntuhan
dan melompat masuk ke sebuah celah yang sangat sempit.
Celah yang tidak mungkin jika dimasuki orang dewasa, bahkan
Cloudhawk sendiri saja hampir tidak muat di celah sempit itu... dan sesaat
kemudian, ia mendengar suara salah satu hewan mutan itu yang masih terus
mencoba untuk masuk mengejarnya.
Hewan mutan itu begitu dekat sampai-sampai Cloudhawk dapat mencium
bau busuknya.
Cloudhawk terus saja merangkak naik melalui celah itu, namun
malangnya ia telah sampai di bagian paling ujung. Tidak ada tempat lagi untuk
merangkak naik, dan hewan buas dibelakangnya sudah terus-menerus menggeram
bersiap untuk menerkamnya.
Segalanya sedang berada di ambang keputusasaan. Ini adalah momen
yang kritis, momen dimana hidup dan mati sedang dipertaruhkan.
Walaupun ia sedang dipenuhi oleh rasa putus asa, Cloudhawk tidak
sedikitpun ragu-ragu, ia memutar badannya sembari menggenggam sebilah potongan besi
di tangannya. Makhluk hitam itu menerkam langsung ke arahnya, mata merah
darahnya memancarkan kebrutalan di dalam kegelapan. Taringnya setajam pisau,
dan taring itulah yang hendak mengoyak mangsa yang kini berada didepannya, lalu
mencabik-cabiknya hingga hancur.
Cloudhawk pun berteriak, ia menikam membabi buta ke arah
depannya...dan kebetulan saja potongan besinya tertancap tepat ke mata si
makhluk itu.
Makhluk itu meraung kesakitan sambil menghempaskan badannya ke
arah Cloudhwak. Cakar tajamnya menorehkan beberapa sayatan di tubuh Cloudhawk,
namun Cloudhawk berhasil menekan kepala makhluk itu ke bawah. Celah dalam
reruntuhan ini sungguh sempit, sehingga tidak memungkinkan bagi makhluk itu
untuk meloloskan diri dari cengkraman Cloudhawk.
“Matilah! Matilah!”
Cloudhawk menjadi lebih brutal daripada hewan itu sendiri selagi ia
menusuk-nusukkan besinya, lebih dari sepuluh kali ke kepala makhluk itu. Darah
berbau busuk terpancar deras ke sekitarnya, menyelimuti wajahnya, tangannya,
dan seluruh pakaiannya.
Dua hewan buas lainnya hanya berputar-putar mengitari celah itu,
tidak dapat masuk ke dalam. Setelah mendengar ‘jeritan’ dari hewan buas
lainnya, mereka langsung berbalik arah dan pergi meninggalkan tempat itu.
Sedangkan Cloudhawk, ia sudah tidak dapat bergerak lagi. Sambil bernafas
terengah-engah, otaknya yang sedang kekurangan oksigen itu pun merasakan pusing
sesaat. Sekarang, ia sudah benar-benar tidak memiliki energi sedikit pun bahkan
hanya untuk menggerakkan jari kelingkingnya.
Setelah dorongan energi yang terakhir tadi, tubuhnya sekali lagi
merasakan rasa lelah dan lemah yang tak terkira. Ia baru saja, sejenak-mengesampingkan
lelah tubuhnya, dan kini tubuhnya meminta balik sepuluh kali lipat energi dari
apa yang telah ia peras sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, ia dapat melihat dengan jelas rupa makhluk
yang terbaring di depannya.
Makhluk ini memiliki bulu yang berminyak dan mengilap, cakar yang
panjang dan tajam, serta mata merah yang mengerikan. Ia terlihat seperti tikus
mutan raksasa. Namun tetap saja semua itu tidaklah penting, yang penting adalah
bahwa di tubuh makhluk itu ada lebih dari lima kilogram daging.
Ini adalah makanan!
Cloudhawk menjadi bersemangat lagi. Ia menggunakan potongan
besinya untuk merobek kulit keras makhluk itu, dan menyayat beberapa potong
daging tebal dan kemudian ia telan bulat-bulat. Memang daging itu terasa pahit,
getir, dan mentah... namun bagi manusia yang hidup di Tanah Buangan, daging
seperti itu adalah makanan paling nikmat yang pernah mereka rasakan.
Cloudhawk biasanya bertahan hidup dengan memakan semut, kumbang,
dan rumput. Sudah lama-lama sekali sejak terakhir kali ia dapat makan daging.
Selagi makanan itu mencari jalannya menuju perut Cloudhawk, perasaan hangat
dengan cepat menyebar keseluruh tubuhnya. Rasa sakit yang ia rasakan seakan
berkurang, digantikan oleh rasa puas yang begitu luar biasa yang tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata.
Ia makan, makan, dan makan hingga perutnya yang sebelumnya
kerontang menjadi mengembung kembali. Barulah saat itu ia berhenti, ekspresi
kebahagiaan terpancar di wajahnya.
Hewan-hewan mutan diluar sudah sejak lama pergi. Cloudhawk
menyeret mangsa yang baru saja ia bunuh sendiri untuk pulang menuju lubangnya.
Dengan begini, Ia akan dapat bergelimang lima daging perharinya untuk beberapa
hari kedepan.
Namun baru saja Cloudhawk menarik mayat itu keluar dari celah,
sebuah suara yang terdengar sebuas suara hewan liar menyambutnya. “Letakkan
daging itu!”
Empat sampai lima orang pengais dewasa sedang memblokade jalan
Cloudhawk. Pemimpin mereka sekilas terlihat berperawakan kuat dan tegap, dengan
wajah yang dipenuhi oleh garis-garis bekas luka mengerikan, semakin mendukung
tampangnya yang menyeramkan.
Para pengais ini telah menyadari ‘keramaian’ di daerah sini sejak
tadi, tapi mereka memutuskan untuk bersembunyi dan menunggu di daerah sekitar,
berharap untuk mengais setidaknya tulang belulang dari mayat-mayat yang tersisa
nantinya.
Daging-daging mewah dan tebal itu menjadikan mulut mereka penuh
akan air liur.
Si pria berwajah penuh bekas luka mengggeram, “Letakkan.
Dagingnya. CEPAT!”
Cloudhawk hanya menatap mereka tanpa berkata apapun, sebuah
tatapan layaknya tatapan serigala yang buas, penuh akan bahaya. Kedua kubu
saling memandang satu sama lain di sela-sela reruntuhan, bagaikan hewan buas
yang sedang menimbang-nimbang musuhnya. Sebenernya, di era ini manusia dan
hewan buas sudah hampir-hampir tidak ada bedanya sama sekali.
Meletakkannya?
Aku hampir saja membayarnya dengan nyawaku untuk mendapatkan
daging ini. Kau mau aku meletakknya?
Cloudhawk didn’t waste any time on words. Like an enraged young
beast, he threw himself straight forwards and landed a punch directly on the
scarred man’s face.
Cloudhawk tidak membuang-buang waktu dengan kata-kata. Layaknya
seekor hewan buas yang sedang mengamuk, ia melompat lurus ke depan dan
melayangkan pukulan telak ke wajah si pria berwajah penuh luka itu.
Tidak perlu dipertanyakan siapa yang akan menang di pertarungan
ini. Pada akhirnya, Cloudhawk hanya tidak lebih dari seorang anak kecil.
Bagaimana mungkin ia bisa mengalahkan beberapa orang dewasa secara sekaligus?
Skenario terbaiknya, ia akan dipukuli sampai babak belur, dan ia akan
menyaksikan sepotong daging yang ia perjuangkan mati-matian diambil begitu saja
oleh mereka.
……
Malam pun tiba.
Dibalut luka-luka di tubuhnya, anak muda itu menyelinap kembali ke
lubangnya seperti anjing yang babak belur. Tapi ia tidak merasa dendam atau
benci sedikitpun kepada para pengais yang telah mengambil makanannya. Sebagai
anak yang telah tumbuh besar di ‘perkampungan’ pengais, ia telah terbiasa
dengan peraturan Tanah Buangan.
DI Tanah Buangan, tidak ada yang namanya prinsip. Satu-satunya
aturan atau hukum yang berlaku disini adalah hukum rimba.
Mereka yang kuat akan mendapatkan makanan, budak, dan wanita.
Mereka yang lemah hanya akan disakiti, dirampok, dan diperbudak. Di dunia ini,
di jaman ini, dan di tempat ini... moral tidak lagi dipersoalkan. Menjadi lemah
itu saja sudah termasuk sebuah dosa.
Cahaya rembulan menyelinap masuk ke liang Cloudhawk, membawa ikut
serta hawa dingin yang tak dapat disingkirkan hanya dengan selimut. Ia begitu
kedinginan hingga ia meringkukkan badannya seperti bola, sayang malangnya,
luka-luka di tubuhnya membuat Cloudhawk tak bisa tidur sama sekali.
Cloudhawk memutuskan untuk bangun dan terduduk. Ia mengambil
sebuah kotak yang terbuat dari besi, mengangkatnya, dan menatapnya lekat-lekat
seakan-akan kotak itu adalah harta karun yang paling berharga di dunia. Dengan
perlahan dan sangat hati-hati, ia mengambil beberapa objek berwarna terang dari
dalam kotak itu.
Ia memandangi foto itu lekat-lekat, pandangannya terlihat seperti
sedang melamun dan menerawang jauh. Foto-foto itu merupakan hasil kerja keras si
Orang Kuno yang telah mengumpulkannya selama bertahun-tahun. Foto itu adalah
bukti nyata bahwa Jaman Kuno pernah benar-benar ada, tapi perjalanan waktu
menjadikannya mulai buram dan susah dikenali.
Setiap kali Cloudhawk melihat foto-foto itu, jantungnya selalu
berdegup kencang.
Setiap kali Cloudhawk melihat foto-foto itu, rasa sakitnya, rasa laparnya,
dan luka-luka yang ia alami akan selalu terasa lebih mendingan.
Setiap kali Cloudhawk melihat foto-foto itu, tidak peduli seberapa
besar keputusasaan yang ia rasakan atau seberapa gelap dunia terlihat, ia akan
tetap bisa melihat secercah harapan didepannya.
Jaman Kuno yang telah berlalu, jaman yang telah hilang! Dunia
impian dan magis macam apa sebenarnya itu?
Dulu, orang-orang terlihat bersih dan tampan. Kota-kota begitu
makmur dan berjaya. Tidak ada bahaya, tidak ada hewan mutan yang mengerikan,
tidak ada manusia mutan yang brutal, dan tidak ada pengais yang berusaha
bertahan hidup di Tanah Buangan.
Benarkah era itu telah benar-benar berakhir?
Atau mungkinkah era itu masih ada dan bertahan di belahan dunia
lain yang tersembunyi?
Mata Cloudhawk yang hitam legam memancarkan semangat dan rasa
tidak sabar. Ia benar-benar ingin menjelajahi perkemahan pengais dan
menjelajahi Tanah Buangan!
Ibaratnya seperti sebuah segel yang telah lama mengekang erat
jiwanya. Sebuah keinginan yang telah muncul sejak lama, sejak saat ia masih
sangat muda. Waktu itu, si Orang Kuno pernah bertanya kepadanya: Kenapa?
Perkemahan pengais adalah tempat yang berbahaya, reruntuhan itu tempat yang
berbahaya, dan Tanah Buangan malah lebih berbahaya lagi. Cita-citamu adalah
jalan yang pasti menuju kematian.
“Karena aku telah dilahirkan di dunia ini! Dan karean dunia ini
memilihku untuk terlahir didalamnya, aku berhak untuk menyaksikan seperti apa
dunia ini sebenarnya!”
“Cepat atau lambat, aku
akan pergi mencarinya. Aku akan menemukan ‘negeri khayalan’ itu, tempat
layaknya surga. Jika aku dapat memandangnya sekelebat saja, jika aku dapat
menciumkan bibirku ke tanah dibawahnya... meskipun aku harus mati saat itu
juga, aku tak akan menyesali apapun!”
Si Orang Kuno hanya terdiam.
Sejak saat itu hingga seterusnya, ia selalu menjaga anak itu di
sisinya, berbagi makanan dengannya, dan mengajarinya membaca. Anak itu telah
bertahun-tahun berjuang di ambang kematian... tapi tidak hanya keinginannya
untuk menjelajah menjadi hilang, malah kini keinginannya semakin bertambah
besar.
Si Orang Kuno pernah mengatakan bahwa beberapa orang memang
ditakdirkan untuk menjadi bebas, layaknya elang. Mereka boleh saja dilahirkan
di kandang ayam, tapi cepat atau lambat mereka pasti akan mengepakkan sayapnya
dan terbang menuju angkasa.
Apakah ia benar-benar akan mendapatkan kesempatan itu?
Ia bahkan tidak dapat pergi keluar dari reruntuhan ini, apalagi
menjelajahi tanah buangan yang tak berujung, dan beribu-ribu kali lebih
berbahaya.
Si Orang Kuno sering berbicara tentang takdir. Semua orang,
katanya, memiliki takdirnya masing-masing. Tidak ada seorang pun yang akan
lolos dari takdirnya, tidak peduli seberapa kuat ia mencoba.
Anak muda itu memang telah ‘kenyang’ oleh kebiadaban Tanah
Buangan, tapi semangatnya masih tetap saja membara, matanya bersinar penuh oleh hasrat yang tak terbendung, tak dapat
dideskripsikan. Ia dengan pelan-pelan meletakkan kembali kotak besi miliknya,
menggunakannya sebagai bantal. Barulah setelahnya, tubuhnya yang telah lelah
letih akhirnya tertidur pulas.
Comments
Post a Comment
Silakan memberikan komentar, baik kritik, saran, maupun umpatan diterima.