Rebirth Thief - Chapter 2

Tiga minggu lebih nggak ada kabar, maaf atas ketidaknyamanannya. Ini chapter kedua Rebirt Thief, enjoy!
Chapter Sebelumnya Chapter Selanjutnya







Chapter 2 - Bertemu Sekali Lagi



Nie Yan berlari menuju apotek. Ia sudah hampir sampai, namun saat ia akan menyebrangi jalan, entah kenapa tiba-tiba ia tersandung dan jatuh tersungkur ke trotoar.
Tak elaknya seperti kata pepatah, ketika seseorang telah sampai pada titik puncak kebahagiaan, kesedihan akan segera tiba melanda mereka.
Ssssss…ah.Nie Yan mendesah kesakitan. Kedua tangannya terasa begitu kaku setelah menopang tubuhnya saat terjatuh, lututnya berdarah setelah bergesekan dengan trotoar.
Nie Yan pun berusaha untuk duduk dengan penuh kesulitan, lututnya sobek, memperlihatkan kulit bagian dalamnya yang kini dibanjiri dengan darah.
Pada saat yang sama, sebuah mobil terbang berwarna pink tak sengaja melintasi area itu. Mobil itu kemudian berhenti, tak jauh dari tempat Nie Yan terjatuh. Mobil terbang itu merupakan salah satu produk mobil mewah yang terkenal. Tentu sebuah  pemandangan yang langka bagi mobil mewah seperti itu untuk melintasi kota kecil ini. Tampaknya mobil tersebut adalah salah satu dari jenis mobil terbang edisi terbatas, dibandrol dengan harga sekitar sembilan puluh juta dollar kredit. Sebuah mobil terbang yang tak mungkin dijangkau oleh rakyat jelata.
Seorang gadis muda dengan bawahan rok berwarna putih keluar dari mobil itu. Dengan tergesa-gesa, ia berlari menuju tempat Nie Yan terjatuh.
 “Teman, apakah kamu baik-baik saja?” Suara yang lembut dan indah terdengar oleh Nie Yan.”
Mendengar suara yang begitu familiar ini, jiwa Nie Yan tergetar. Ia menolehkan kepalanya, jika pemilik suara ini bukan Xie Yao, siapa lagi?
Xie Yao sedang mengenakan dress putihnya yang indah, lengkap dengan sentuhan warna pink pada beberapa bagian. Rambutnya diikat rapi di belakang, ia menatap Nie Yan dengan penuh kekhawatiran. Pipinya masih tampak kekanak-kanakan, menambah kesan riang dan semangat pada diri  Xie Yao muda. Ia, masih saja terlihat cantik seperti biasanya.
Nie Yan kemudian mengingat masa-masa ketika reuni SMAnya, tepatnya ketika enam tahun setelah ia lulus. Saat itu, Xie Yao sudah menjadi pebisnis yang sukses. Ia datang dengan mengenekan dress OL yang begitu indah dan menawan.
Waktu memang merupakan suatu hal yang menakjubkan—merubah seorang gadis yang polos, menjadi seorang wanita yang cantik dan memesona.... lalu sekarang, merubahnya kembali seperti awal.
Setelah satu kehidupan telah berlalu, aku akhirnya bertemu lagi denganmu... Mungkin, ini adalah takdir, takdir kita yang diputar kembali, seakan-akan sebuah tape recorder, menempatkan kita kembali pada saat pertama kali kita bertemu. Melodi-melodi indah mulai terngiang di jiwa Nie Yan, begitu indah untuk didengar. Tiap-tiap bunyi  membawa ketenangan dan kedamaian dalam dirinya.
Nie Yan masih menyimpan kenangan pada hari dimana Ia dan Xie Yao pertama kali bertemu; kenangan itu terlihat sama persis dengan kejadian saat ini. Mata Nie Yan pun berkaca-kaca... Xie Yao... Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihatmu... Apakah kamu baik-baik saja? Di kehidupan yang ini, aku tak akan lagi melepaskan dirimu.
 “Ah! Lututmu terluka parah, itu berdarah-darah!” Xie Yao berteriak memperingatkan. Setelah kemudian ia teringat bahwa kotak P3K di mobilnya masih memiliki beberapa gulung perban, Xie Yao pun berlari untuk mengambilnya.
Nie Yan memperhatikan Xie Yao selagi dia berlari ke mobilnya. Semasa tahun ketiganya di SMA, yang paling Nie Yan senangi adalah memandangi tubuh mungil elok milik Xie Yao. Roknya yang sepanjang lutut memperlihatkan kulit putih Xie Yao yang begitu indah, bagaikan intan pertama. Mengenai penampilan, sebenarnya penampilan Nie Yan juga tidak bisa dikatakan buruk rupa. Setelah kesuksesan ayahnya, kondisi finansialnya juga membaik; ia sama sekali tidak kurang jika dibandingkan dengan Xie Yao. Namun meski begitu, ketika berhadapan dengan Xie Yao, Nie Yan masih saja tidak memliki keberanian untuk berinteraksi dengannya.
Kondisi mentalnya saat tahun ketiga SMA bisa dibilang aneh dan sulit dimengerti. Setelah ia dewasa, barulah ia sadar bahwa dirinya yang dulu memang benar masih sangat kekanak-kanakan pada saat itu.
Xie Yao mengambil perbannya dan berjalan kembali ke samping Nie Yan. Ia kemudian mulai men-disinfeksi luka Nie Yan dengan antiseptik. Dengan hati-hati, ia mengambil kerikil di luka Nie Yan dengan jemari mungilnya.
 “Bagaimana bisa kamu menangis? Kamu kan sudah besar, bagaimana mungkin cuma luka sekecil ini membuatmu menangis? Dilihat nggak enak tahu!~” Xie Yao tersenyum menggodanya sambil memijat-mijat lutut Nie Yan dengan jari jempolnya.
Ketika ia tersenyum, ujung mulut Xie Yao sedikit menampakkan lesung pipinya, memunculkan sebuah senyum indah yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
 “Saat aku terjatuh tadi, mataku cuma tidak sengaja terkena debu-debuan.” Pipi Nie Yan sedikit memerah selagi ia mencari-cari alasan. Sebenarnya, penyebab Nie Yan menangis sama sekali bukan karena luka di lututnya, melainkan kemunculan Xie Yao yang menyebabkan ia merasa seakan-akan air panas telah ditumpahkan ke kepalanya. Pikirannya kacau: berjuta-juta rasa ‘pahit’ dan kebahagiaan tercampur aduk menjadi satu.
Saat itu, perhatian Xie Yao sedang seluruhnya terfokus pada luka di lutut Nie Yan. Nie Yan mendongakkan kepalanya, memandangi wajah cantik Xie Yao selagi dia mencondongkan badannya untuk mengobati luka Nie Yan. Kulit putihnya, bak intan permata yang sempurna, begitu halus dan lembut. Helaian-helaian rambutnya menjulur turun, membuat Nie Yan dapat memandangi anting cantik yang terpasang di telinganya.
Dulu saat ia dan Xie Yao masih merupakan teman sebangku, ia selalu suka diam-diam memandangi Xie Yao saat pelajaran. Meskipun begitu, tak peduli seberapa banyak Nie Yan memandang, ia tak pernah merasa cukup.
Tak terpungkiri lagi, Xie Yao merupakan gadis tercantik di kelas mereka. Walaupun di kelas-kelas lain juga terdapat gadis-gadis cantik mereka masing-masing, Nie Yan tetap percaya bahwa Xie Yao merupakan gadis paling cantik se-SMA-nya.
Setelah pertemuan pertama mereka, Nie Yan tak pernah sekalipun melupakan Xie Yao. Di lain waktu, ketika ia memasuki tahun ketiga SMA, ia terkejut ketika menjumpai dirinya dan Xie yao merupakan teman sekelas. Tidak hanya itu... mereka juga merupakan teman sebangku. Ia lalu percaya bahwa semua kejadian ini merupakan suatu takdir. Baru setelah sepuluh taun kemudian akhirnya ia memahami... meskipun dua orang telah ditakdirkan untuk bersama, jika salah seorang dari mereka tidak benar-benar menggunakan kesempatannya dengan baik, mereka tetap saja akan melewatkan takdirnya.
 “Bagaiamana bisa kamu datang kemari sendirian!? Ini adalah daerah yang berbahaya, tempat para kriminal beroperasi!” Nie Yan berkata dengan nada yang penuh kekhawatiran. Daerah ini memang benar-benar rawan dan dihuni oleh banyak organisasi-organisasi kriminal. Sebuah tempat yang bisa dibilang sangat berbahaya bagi gadis cantik seperti Xie Yao untuk berpergian sendirian.
 “Jangan meremehkanku! Meskipun begini, aku tingkat ketiga sabuk hitam di taekwondo! Bahkan nanti setelah umurku dua puluh satu tahun, aku sudah bisa naik ke tingkat keempat. Jika kamu tidak percaya, akan aku tunjukkan!” Xie Yao mulai mengambil kuda-kuda terbuka, namun sesaat kemudian, gerakannya terhenti sambil wajahnya berubah memerah. Ia berkata, “Sebenarnya, lupakan... Aku sedang mengenakan rok hari ini, tapi aku benar-benar sangat kuat kok!” Xie Yao berkata dengan polosnya.
Nie Yan membalasnya dengan tawa. Setelah bercakap-cakap dengannya selama beberapa waktu, sekarang ia benar-benar yakin bahwa gadis yang ada didepannya ini memang merupakan Xie Yao—gadis yang tulus, riang, memikat, dan menyenangkan.
Xie Yao pun mulai mengamati Nie Yan. Jika dibandingkan dengan dirinya sendiri, Nie Yan terlihat seperti lebih muda beberapa tahun dari dirinya. Tingginya juga kurang lebih sama dengan dirinya, sekitar seratus tujuh puluh centimeter. Pakaian yang Nie Yan pakai sedikit kotor, kemungkinan karena ia baru saja terjatuh. Mengenai penampilan—walaupun tidak bisa disebut sebagai tampan—penampilannya bisa dibilang cukup lah. Namun, entah kenapa Xie Yao merasakan perasaan familiar dan kedekatan yang tak bisa dijelaskan terhadap Nie Yan.
Tanpa mereka sadari, mereka sudah bercakap-cakap cukup lama di tempat itu.
 “Dari sekolah mana kamu? Dilihat-lihat dari penampianmu... sepertinya kamu masih anak SMP, benar kan?” Xia Yao rasa Nie Yan masih terlihat agak ‘bodoh’ dan dungu, bahkan saking dungunya ia malah terkesan menggemaskan. Tidak melihat jalan saat ia sedang berlari, banyak anak-anak SMP yang dungu seperti ini. Walaupun nantinya mereka akan tumbuh menjadi lebih dewasa saat SMA.
Walaupun Nie Yan masih berusia delapan belas tahun saat ini, namun ia sudah memiliki kebijaksanaan dari dirinya yang telah berusia dua puluh delapan tahun. Ketika kini dia bertemu dengan Xie Yao sekali lagi, ia bukan lagi seorang bocah kecil yang ‘bodoh’ dan mudah panik seperti dulu. Jiwanya telah ditempa seiring berjalannya waktu, ia kini sudah menjadi seseorang yang tenang dan kalem.
 “Siapa bilang aku anak smp? Kalau saja bukan karena hukum perlindungan-anak di negara ini, anakku pasti sudah cukup besar untuk membeli sayurannya sendiri!” balas Nie Yan dengan bercanda. Ia kini paham, jadi orang itu jangan terlalu kaku dan membosankan.
 “Anakmu? Membeli sayurannya sendiri? Jangan ngawur!” kata-kata Nie Yan tadi sukses membuat Xie Yao tertawa sejadi-jadinya, membuatnya terkikih tanpa henti.
 “Aku delapan belas tahun.”
 “Beneran delapan belas tahun? Kamu sama sekali nggak kelihatan kalau seumuran denganku,” kata Xie Yao dengan sedikit terkejut.
Dikarenakan malnutrisi yang dialaminya, tinggi Nie Yan yang sekarang bisa dibilang agak pendek—sekitar seratus enam puluh lima centimeter. Ketika kondisi kehidupannya membaik kelak, barulah tinggi badannya mencuat drastis hingga seratus delapan puluh centimeter, tepatnya saat ia memasuki tahun ketiga di SMA. Namun untuk sekarang, penampilannya masih terlihat seperti anak-anak, dan memang benar ia yang sekarang ini masih terlihat mirip seperti anak SMP. Hal ini jugalah tepatnya yang sering membuat Nie Yan merasa sedih.
Hal yang paling tidak menyenangkan baginya, sebagai orang yang ‘berusia’ dua puluh delapan tahun, ialah dibilang mirip seperti anak SMP. Namun, saat ini wajahnya memang masih terlihat baby-face, jadi ia tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu.
 “Ini karena wajahku yang secara alami terlihat lebih muda dari pada orang-orang lain.”
“Jika kamu masih muda, ya sudah maka kamu masih muda. Masih tidak mau mengakuinya?” Xie Yao membalas degan tertawa kecil. Ia merasa Nie Yan ini adalah orang yang sangat lucu, tidak seperti teman-temannya yang pernah ia temui. Semua teman laki-laki dikelasnya selalu saja, kalau tidak anaknya pemalu, tak tahu harus bilang apa kepadanya, ya berati anaknya sombong dan nakal yang membuatnya merasa jijik.
Keduanya melanjutkan bercakap-cakap agak lumayan lama. Nie Yan tampak begitu nyaman ketika berbincang dengan Xie Yao, terkadang menggodanya dengan joke-joke cerdas yang berhasil membuat Xie Yao tertawa.
Nie Yan memandangi ekspresi tersenyum Xie Yao yang begitu cantik. Mengingatkannya kembali kepada saat ketika ia baru saja lulus dari SMA di kehidupan yang sebelumnya. Pada waktu itu, ia dan Xie Yao telah menjadi teman sebangku selama setahun, ia yakin bahwa antara dirinya dan Xie Yao tidak akan pernah terjalin hubungan apapun. Mereka berdua adalah dua orang dari dunia yang benar-benar berbeda. Ia terus saja mengagumi Xie Yao dalam diam, memberinya apapun yang Xie Yao butuhkan. Ia tak pernah meminta Xie Yao untuk mengingat orang rendahan seperti dirinya. Namun diluar dugaannya, setelah tiba hari kelulusan, ia secara tak terduga menerima sebuah hadiah dari Xie Yao. Mungkin, ia telah memerikan kesan tersendiri di hati Xie Yao.
Apa yang ada di dalam hadiah itu ternyata adalah sebuah foto dari Xie Yao ketika ia masih berusia dua belas tahun. Itu adalah sebuah foto yang hanya akan ia bagikan kepada orang-orang yang ia anggap ‘dekat’ dengan dirinya.
Setelah kelulusan, Nie Yan tetap saja tak dapat melupakan Xie Yao, namun keduanya tetap terus menjalin komunikasi dengan satu sama lain.
Setelah terlahir kembali, Nie Yan tak akan lagi membiarkan dirinya melewatkan kesempatan yang telah diberikan kepadanya.
Dapat bertemu dengannya sekali lagi membuat kondisi pikiran Nie Yan agak kabur. Di kehidupannya yang sebelumnya dan di kehidupannya yang sekarang, dirinya dan Xie Yao sama-sama terikat dalam sebuah takdir yang tak terelakkan.
Mata jernih dan terang milik Xie Yao diam-diam mengamati wajah Nie Yan, menilainya secara perlahan. Walaupun Nie Yan tidak bisa disebut sebagai tampan, malah pada awalnya ia terlihat sangat biasa-biasa saja, dan walaupun penampilannya masih terlihat kekanak-kanakan, namun ia memiliki suatu pesona yang tak bisa dijelaskan. Mungkin itu ada hubungannya dengan kepribadiannya?
 “Namaku Nie Yan (聂言). Nie tertulis berupa gabungan antara kata ‘pasangan’ () dan kata ‘telinga’ (), sedangkan Yan tertulils seperti kata ‘kata’ () di kata ‘bahasa’ (語言),” ucap Nie Yan sambil menatap mata Xie Yao dalam-dalam.(₁)
Wajah menawan Xie Yao langsung berubah menjadi gelagapan saat ia berusaha mengalihkan pandanganya dari tatapan mata Nie Yan.
 “Namaku Xie Yao...”
Nie Yan menurunkan pandangannya sedikit, kemudian matanya tertuju pada bibir Xie Yao. Bibir Xie Yao memilki warna pink yang samar-samar. Selain itu, bibirnya memiliki kesan mengilat yang membuatnya begitu menarik. Nie Yan yang dulu tentu tak akan pernah berani untuk memandang wajah Xie Yao terang-terangan seperti ini. Ia hanya akan berani mencuri-curi pandang wajah manis Xie Yao dari ujung pelupuk matanya.
 “Ayahku sedang menungguku, jadi a-aku pergi duluan ... Senang bisa ngobrol-ngobrol denganmu hari ini. Tapi jangan lupa, kamu baru boleh membuka perbanmu besok! Kamu benar-benar tidak boleh membukanya sebelum itu!” Xie Yao merasa tidak yakin, jadi ia memperingatkan Nie Yao berulang-ulang selagi ia beranjak untuk pergi.
Nie Yan mencoba untuk menggerakkan lututnya sedikit, dan menyadari bahwa ia sudah bisa menggerakkannya tanpa kesulitan—lukanya tidak terlalu parah.
 “Aku baik-baik saja. Aku sudah bisa jalan lagi kok, jadi... mending kamu pergi sekarang. Oh iya, terima kasih untuk hari ini,” balas Nie Yan. Meskipun ia masih ingin bercakap-cakap dengannya lebih lama lagi, namun pada akhirnya ia memutuskan untuk menyudahinya dan berjalan kembali ke trotoar. Toh nantinya mereka bakal bersekolah di SMA yang sama, ia masih akan memiliki banyak kesempatan untuk mengenal Xie Yao lebih jauh.
 “Ya sudah, kalau begitu aku duluan...”
“Sampai jumpa,” balas Nie Yan dengan tersenyum, lalu ia mulai berjalan menjauh. Ketika ia kemudian melewati apotek, ia mau tidak mau mulai merasa agak sentimental. Setelah baru sebentar mereka bertemu, keduanya terpaksa harus berpisah kembali.
Xie Yao duduk di mobil terbangnya dan mulai terbang menjauh.
Di waktu yang sama, Nie Yan menolehkan kepalanya untuk melihat Xie Yao dari kejauhan, namun pada saat itu, mobil terbang Xie Yao sudah terlanjur berangkat. Mereka berdua dulu juga bertemu seperti ini, murni karena kebetulan. Tetapi, pertemuan mereka yang dulu tidak berjalan se’mulus’ yang sekarang, dirinya yang dulu tak dapat mengutarakan satupun kata yang masuk akal. Xie Yao dulu juga hanya membalut lukanya dengan perban dan langsung pergi setelah itu. Namun, walaupun pertemuan itu dulu hanyalah sebuah kebetulan karena kecerobohannya sendiri, tetapi hal itu berhasil membuat sosok Xie Yao selalu terukir di hati Nie Yan. Bahkan sampai akhir hayatnya, sosok itu tak pernah terlupakkan oleh Nie Yan.
Reinkarnasi memang merupakan suatu hal yang menakjubkan, semuanya dapat sekali lagi dimulai kembali dari awal. Nie Yan kemudian berpikir, semuanya yang ia miliki kemungkinan akan segera direbut oleh Cao Xu beberapa tahun lagi. Pikirannya mulai merasakan gentingnya situasi... ia harus menjadi lebih ‘kuat’ untuk dapat melindungi semua yang ia sayangi.
Memikirkan Cao Xu membuat hati Nie Yan perlahan menjadi ‘dingin’. Perasaan inilah... kebencian yang menembus jauh ke dalam jiwa, kebencian yang sampai-sampai membuatnya tak merasa ragu untuk melesatkan peluru ke tengkorak musuhnya.
Namun, untuk sekarang, satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah memanfaatkan kesempatannya dan mulai bermain Conviction secepatnya. Ia harus segera membangun pondasi awal di dalam game. Conviction tidak sama seperti game-game lainnya, ia adalah dunia kedua bagi umat manusia. Game ini telah mengubah situasi bumi secara keseluruhan. Nie Yan dapat menggapai apapun yang ia inginkan dengan bermain Conviction.
Di apotek, ia membeli beberapa paket obat demam. Kemudian sambil meminum obat-obatan itu, ia merasakan tubuhnya menjadi rileks dan demamnya perlahan menurun. Di jaman ini, efek dari obat-obatan sudah menjadi sangat memuaskan.
Setelah urusannya selesai di apotek, ia berjalan menuju department store di daerah tersebut. Ia berencana untuk membeli sebuah helm Virtual Reality.
Setiap department store memiliki tatanan produk-produk yang megah didalamnya. Mereka juga memiliki banyak sekali alat-alat elektronik; bahkan sangat banyak sampai tak dapat dihitung. Kebanyakan dari mereka berupa alat-alat canggih atau biasa disebut smart device. Bahkan terdapat beberapa produk yang Nie Yan tak tahu namanya. Di tempat ini tak terdapat sales penjual, kamu hanya perlu menggesekkan kartumu dan kamu dapat menerima apapun yang ingin kamu beli.
Setengah hari telah berlalu sejak Nie Yan meninggalkan rumanya, dan saat ini, ia telah sampai kepada bagian toko yang menjual helm Virtual Reality. Helm-helm itu ditampilkan satu per satu di dinding, cukup untuk menyegarkan mata. Helm-helm itu dapat digolongkan ke dalam tiga macam model yang berbeda, lalu tiap-tiap helm dapat dibedakan berdasarkan ribuan gaya, pola, dan desain berbeda yang dimiliki masing-masing helmnya.
Yang paling murah diantara mereka dibandrol dengan harga seribu tiga ratus dollar kredit sedangkan yang paling mahal dibandrol dengan harga fantastis yaitu sampai satu juta dua ratus ribu dollar kredit.
Semakin tinggi harganya, semakin bagus juga konfigurasinya. Ada uang ada barang, dan saat ini, Nie Yan hanya mampu membeli helm dengan konfigurasi yang paling murah.
Selain helm-helm virtual reality yang tersedia saat ini, juga terdapat helm-helm limited edition yang hanya bisa dibeli dengan memesan terlebih dahulu. Harga mereka bisa mencapai hingga enam puluh juta dollar kredit.
Untuk helm-helm mewah tersebut, untuk sekarang, Nie Yan hanya dapat bergangan-angan di dalam hatinya—tidak lebih.
Nie Yan menggesekkan kartunya ke alat register. Ia memutuskan memilih sebuah helm berwarna biru muda, dan kemudian mendaftarkan identitas dirinya ke helm tersebut. Sekali identitas dirinya telah didaftarkan ke helm itu, hanya dialah yang dapat menggunakan helm itu.
Saat ini, conviction baru saja diluncurkan tujuh hari yang lalu, oleh karena itu, pemain dengan level tertinggi saat ini kemungkinan masih sekitar level lima. Nie Yan masih mempunyai banyak waktu untuk menyusul mereka.
Setelah terlahir kembali, ia pasti akan dapat mengalahkan semua musuh yang menghalanginya dengan mudah. “Menggapai puncak tertinggi, dan semua gunung dibawah akan terasa kecil dan tak berarti.”


  1. Tentang nama-nama di china memang agak ruwet, akan coba saya perjelas lagi di chapter selanjutnya mungkin.

Comments

Post a Comment

Silakan memberikan komentar, baik kritik, saran, maupun umpatan diterima.